Halaman

    Social Items

Search and Buy other Templates on IDNTHEME

Pengirim: bangmaul.com

     Dengan raut wajah tak begitu ikhlas, Ratri membuka pintu kamar kos barunya. Bisa dikatakan sederhana, namun sangat berharga baginya. Tak perlu terlarut memikirkan. Ratri segera meletakkan stopmap coklat pudar ke atas meja kayu rapuh yang terletak di samping tempat tidurnya. Lelah masih terasa erat di tubuh mungil Ratri. Karena satu demi satu toko dari yang kecil hingga yang cukup mewah telah ia jelajahi, telah ia coba untuk melamar pekerjaan di sana. Namun apalah daya, balasan sengit dan senyum meremehkan yang ia dapatkan. Ratri hanya seorang pemegang ijazah SMK. Namun dengan rasa semangat yang tertancap dalam hatinya ia terus berusaha. Dan dia selalu berharap, agar ada keberuntungan dibalik pekiknya kota metropolitan ini.
Semua yang berusaha pasti mendapat apa yang mereka usahakan. Ratri berhasil diterima di sebuah tempat jahit milik seorang wanita paruh baya keturunan Tionghoa bernama Myria. Myria merupakan seorang wanita setengah baya asal Bandung. Matanya sipit, hidungnya mungil, kulitnya putih pucat dengan rambut yang sudah hampir beruban semua. Namun hal itu tidak melunturkan kecantikan wanita keturunan Tionghoa itu.  
     Dia memiliki seorang putra angkat bernama Jian Hendrawan. Bukan tanpa maksud dia mengadopsi anak, Myria sendiri memang tidak dapat memiliki keturunan. Karenanya, sang suami yang dulu sangat ia cintai pergi begitu saja dan menikah kembali dengan wanita lain tanpa kejelasan yang pasti.
     Meski upah yang didapat tak seberapa, namun Ratri bersyukur karena masih mampu membeli sesuap nasi untuknya. Sayang, tampaknya ada masalah kecil di sana. Kedatangan Ratri di lapak jahit ini cukup membuat Sri dan Ika yang merupakan seniornya di lapak itu, dibuat iri hati olehnya. Mereka beranggapan bahwasanya Bu Myria memperlakukan Ratri dengan berbeda. Bahkan Jian sang putra angkat Bu Myria pun merasakan bahwa ibunya sangatlah perhatian kepada Ratri. Hingga akhinya tumbuh sepercik permusuhan  di sana. Tetapi Ratri tidak mengambil pusing, dia malah bersikap ramah seperti biasa, meski dihatinya tersimpan rasa kurang nyaman.
"Ratri, tolong kamu setrika baju-baju milik Jian yang di atas meja itu. Saya mau ambil bahan kiriman dari Bu Tika di Mangga Besar sebentar," ucap Bu Myria ramah.
"Baik, bu," jawab Ratri sembari menghela napas panjang menatap ke arah tumpukan pakaian yang harus dia setrika.
     Sudah dua hari ini Ratri harus mampu membagi waktunya yang sangat padat. Disamping pekerjaan pokoknya sebagai penjahit, Ratri diberi mandat khusus dari Bu Myria untuk membantu urusan rumah tangga bosnya itu. Karena banyaknya pesanan jahit baju seragam, Ratri harus bekerja sangat ekstra. Dia tidak enak jika harus meminta bantuan ke Sri maupun Ika. Keduanya nampak sangat tidak suka akan kehadiran Ratri di lapak ini.
Cukup lama berkutat dengan sekeranjang penuh pakaian milik Jian, Ratri melihat sebuah plastik kresek hitam yang menggembung di bawah meja setrikaan. Takut jika terinjak, Ratri memutuskan memindahkannya sembari sedikit menghela napas.
"Ada apa, Tri? Kenapa menghela napas seperti itu?"
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Ratri. Ternyata Bu Myria.
"Eh.. anu itu... Anu, tadi saya mindahin plastik hitam itu bu, takut terinjak saya," sahut Ratri gugup.
"Ooh, ya sudah. Kalau tidak salah plastik itu punya Jian, biarkan saja di situ. Kamu pulang saja. Biar aku yang lanjutkan setrikanya. Oh iya, hati-hati di jalan ya," nasihat Bu Myria dengan senyum ramah khasnya.
"Iya, bu. Saya akan berhati-hati."
Ratri telah pulang ke kosnya, Myria segera menyelesaikan menyetrika baju-baju milik Jian sembari mendengarkan desah-desuh suara dari televisi yang sempat ia nyalakan tadi.
"Bu, bajuku yang dilemari mana? kok tidak ada?" tanya Jian dari dalam kamar.
"Loh kamu sudah pulang, Ji? Baju-bajumu sedang ibu setrika ini," jawab Ny Myria.
"Kenapa baru disetrika sekarang si? Dari tadi ibu ngapain aja?!" tanya Jian sembari keluar dari kamar dengan mengenakan kaos oblong berwarna putih polos.
 Rupanya Jian telah pulang dari tadi, karena seingatnya Jian pergi dengan mengenakan pakaian kemeja navy dan celana jeans hitam kesukaannya.
"Iya, Ji maaf. Tadi ibu harus pergi dulu untuk mengambil bahan pesanan dari Bu Tika, ibunya teman kamu itu. Jadi ibu perintah Ratri untuk menyetrika dulu, kalau ibu sudah selesai baru ibu lanjutin," jelas Myria.
"Bu Tika? Maksud ibu, ibunya temenku Indra itu?" tanya Jian penasaran.
"Iya. Tadi dia cerita banyak ke ibu masalah Indra itu. Katanya dia hobi sekali ikut-ikutan tawuran antar mahasiswa begitu. Bahkan ibu sempat denger, dia ikutan demonstrasi yang di depan gedung DPR itu, Ji. Dia kuliah di Trisakti kan ya," jelas Bu Myria pada Jian.
"Bahkan tadi ibu sempat dengar dari tetangga kalau dia tadi tertangkap polisi gitu, jadi tersangka atau apa begitu. Kasihan sekali Bu Tika, kenapa pula Indra bisa berubah menjadi begajulan seperti itu," sambung Myria.
"Tertangkap!?" tanya Jian terkejut.
"Iya. Katanya ada sekitar 20 orang yang berhasil melarikan diri tadi pagi. Ibu sangat prihatin melihat generasi bangsa kita seperti ini. Kamu jangan ikut-ikutan seperti itu ya, Ji. Ibu hanya takut sesuatu terjadi sama kamu nantinya. Ibu berharap kamu mau belajar dengan rajin biar bisa dapet beasiswa S2 ke Jepang," terangnya menjelaskan ke Jian sembari menepuk pelan pundak Jian.
"Aku kan udah besar bu, udah dewasa pula. Tanpa ibu sirih aku juga tau mana yang bener mana yang jelek. Udahlah, aku mau pergi lagi, ada tugas mata kuliah dari dosen!" sahut Jian dengan nada bicara yang agak dikeraskan. Bu Myria hanya mengurut dadanya mendengar ucapan keras dari putranya itu.
Malam harinya di kos-kosan mungil nan sempit miliknya, Ratri merenung memandangi pekatnya langit malam. Suara bising kendaraan masih jelas terdengar, bahkan semakin terdengar jelas ketika malam semakin berjalan. Bukannya hati semakin tenang, justru ada risau yang belum terdefinisikan dalam hati, benak, dan  pikirannya. Dilihat kalender lusuh di atas meja kayu miliknya, terbaca jelas tulisan 12 Mei di sana. Harusnya dia tengah merayakan  pertambahan usianya sekarang, bersama neneknya di kampung halaman. Namun, kini ia di Jakarta, kota seribu pengalaman. Sendirian, sedang neneknya ada di Boyolali sana.
Sinar mentari sungguh terik hari ini, tepat pukul 9 pagi ditanggal 13 Mei Ratri bergegas pergi ke tempatnya bekerja. Sebenarnya ia sedikit ragu untuk pergi bekerja, sebab ia sempat mendengar bahwasanya aksi demonstrasi para masa dan mahasiswa masih terjadi. Bahkan beberapa jalan ditutup dan diamankan oleh sekelompok polisi. Bukan hanya di depan gedung MPR dan DPR saja, di depan blok H juga ada beberapa kerusuhan dari pemuda yang mungkin tidak ikut berdemo ke gedung DPR. 
Sekali lagi, dengan sedikit meyakinkan niat, Ratri berjalan ke lapak jahit. Jalannya pelan namun pasti. Tepat di lapak jahit tempatnya bekerja, ia disuguhi pemandangan yang membuatnya bingung. Tampak di sana, Myria dengan sebuah tas besar di tangannya dan Jian yang berdiri tak jauh dari Myria memegang tabung kecil yang nampaknya seperti cat warna semprot. Raut wajah Myria tegang nan gelisah, bahkan terlihat ketakutan. Belum sempat mendekat dan bertanya ke Myria, tampak sekelompok orang berpakaian hitam datang dari arah selatan dengan gemuruh teriakan yang tak mampu didengar jelas oleh Ratri. Dari arah utara datang pula kiranya 20 orang dengan membawa sebilah tongkat dan obor menyala di tangan mereka.
Melihat kembali ke arah lapak jahit Myria, berharap dia mampu berlindung ke sana, tetapi mereka telah hilang. Sosok Myria dan Jian tidak ada di sana, hanya tampak lapak yang ditutup dengan terkunci rapat dan sebuah tulisan 'Milik Pribumi' cukup besar terletak pada dinding  lapak. Mungkin Jian yang tadi menulis itu dengan cat semprot tadi. Tak mau larut memikirkan, Ratri segera berlari mencari tempat berlindung. Ratri berlari tanpa arah dengan perasaan takut dan gelisah. Hingga tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita 
"Aww!! Ratri? Ngapain lari-lari ketakutan kaya gitu si? Abis liat hantu?" tanya wanita yang ditabraknya tadi, yang ternyata Ika.
Ratri tak mampu menjawab, dengan napas yang masih tersenggal-senggal ia pun menunjuk ke arah tempat jahit. Ika yang seakan langsung paham segera menarik tangan Ratri dan berlari mencari tempat berlindung.
Di kamar kontrakan milik Ika, seniornya di lapak jahit, Ratri, Sri dan Ika pun berlindung. Sebuah kebetulan mengantarkan mereka bertiga untuk berlindung bersama. Letak yang tak cukup jauh, membuat mereka masih dapat melihat bagaimana kerusuhan itu terjadi. Mereka melihat bagaimana puluhan pemuda tadi, dengan tidak ada rasa belas kasihan menjajak, menjarah, merusak bahkan menghancurkan setiap lapak yang ada sepanjang Blok H di Glodok Plaza ini. Namun sasaran mereka adalah para etnis Tionghoa. Entahlah, Ratri semakin dibuat bingung sekarang. 
"Kenapa yang jadi korbannya orang-orang keturunan Cina semua ya, teh? tanya Sri dengan terus menatap ke arah kerusuhan. Mereka bertiga mengintip dari balik jendela kamar kontrakan kecil milik Ika, yang kebetulan hanya berbeda blok saja dari tempat lapak jahit.
Kepulan asap terlihat jelas dari beberapa mobil dan motor yang dibakar oleh para pengrusuh. Semua lapak telah hancur dan rusak, tak terkecuali lapak jahit tempat mereka bekerja, tempat mereka mencari uang untuk dapat menghidupi diri mereka sendiri dan keluarganya. Bukan hanya menyayat hati, namun seakan merobek dan mencabik-cabik habis hati mereka melihat secara langsung bagaimana para pengrusuh itu membuka paksa lapak jahit Myria, bagaimana para pengrusuh menjarah dan merusak semua yang ada di sana. Padahal telah terlihat pasti bahwa terdapat tulisan 'Milik Pribumi' di sana, namun jiwa mereka telah terkobar menyatu dengan teriakan mereka yang menyerukan  'Bakar Cina!! Bunuh Cina!! Jarah!!'
"Masya Allah, lihat! Ada segerombol lagi dari Blok F!" pekik Ika menunjuk ke arah sekelompok orang yang berdatangan dari arah Blok F. Sedangkan Sri tengah menangis tersedu-sedu di sampingnya.
"Kenapa bisa kaya gini? Astaghfirullahal'adzim. Bagaimana ini? Aku takut," lirih Ratri.
"Kita ngga akan kenakan? Gimana kalau mereka masuk ke kos ini terus mereka merusaknya?" seru Sri masih dengan tangisan pilunya. 
"Tidak, Mbak. Mbak Sri tenang aja, mereka tidak akan merusak kos ini. Lihatkan mereka itu seakan merusak tempat-tempat miliknya orang Cina saja," jelas Ika pada Sri.
Kerusahan masih terjadi, lapak jahit milik Bu Myria sudah tidak berbentuk lagi, sudah hancur. Jalan yang tadinya bersih sekarang penuh dengan kayu, bebatuan, kawat hingga serpihan bangunan yang berserakan. Teriakan 'Bakar Cina!! Bunuh Cina!! Jarah!!' masih terdengar dengan jelas. 
"Mereka nambah-nambah terus teh. Gimana ini? Aku takut banget," pekik Sri. 
Sri terus menangis sesegukan dengan Ika yang terus mencoba menenangkannya dan Ratri membantu di belakangnya. Kepulan asap semakin pekat dilangit Jakarta hari ini. Sekelompok pemuda datang lagi dari arah timur, dengan pakaian serba hitam dan senjata tajam di tangan mereka.
Hingga suara buku terjatuh mengejutkan Ika dan Sri. Keduanya memandang si pembuat buku itu jatuh, Ratri. Namun, Ratri tetap menghadap ke arah kerumunan, perhatiannya seakan terpusatkan ke sana. Terpaku pada seorang pemuda bertubuh jangkung yang mengenakan pakaian serba hitam memegang sebuah plastik hitam ditangannya, yang tengah memandang ke arah lapak-lapak yang telah rusak berantakan. Raut wajahnya keras dan dingin, seringai kecil terlihat jelas di bibir pemuda itu, tetapi Ratri seakan telah mengenalnya. Ia terdiam cukup lama, hingga satu hal yang terlintas dibenak Ratri.
"Kenapa Mas Jian ada di sini? Bukannya tadi udah pergi dengan Bu Myria?"

- tamat -

Di Ujung Hari

 

Tentangmu

Seketika hancur hatiku
Mendengar permintaan maafmu
Apakah aku bukan yang terbaik bagiku
Ku tak tahu, hanya kau yang tahu
Akan kulakukan apa pun untukmu
Meski itu menghancurkanku
Akan kulakukan apa pun maumu
Asalkan kulihat lagi senyum itu

Tentangku

Salahku, ini bukan tentangmu
Kau hanya pikirkan dirimu
Dan kau telah relakan aku
Agar aku bahagia untukmu
Hanya kaulah yang kumau
Hanya kaulah bahagiaku
Maka janganlah pergi dariku
Walau apa yang terjadi padamu

Anganku, Anganmu, Angan Kita

Siapa yang akan menyangka
Bahwa kaulah takdirku dari-Nya
Siapa yang akan mengira
Bahwa berdua kita jadi bersama
Bisik mimpi manis penuh suka
Lirih doa terpanjat sampaikan cita
Harap ceman akan sambutan lusa
Debar memulai hari awal kisah kita

Hanya Dia

Andai dia tahu, sejak dulu
Hanya namanya yang ada
Di tiap detak jantungku
Satu per satu helaan nafasku
Aku sendiri tak mengenali
Rasa yang terlambat kusadari
Tapi yang pasti,
Sejak dulu namanya telah penuhi relung hati
Aku akan merasa bahagia bila kulihatnya tertawa
Dan hancurlah aku ketika air mata basahi pipinya
Karena yang kumau hanyalah senyumnya
Meski aku harus menghilang dari hatinya

Rasa Sesaat

Kurasakan kehangatan, saat menatap mata teduhnya
Kurasakan ketenangan, begitu tahu dirinya ada
Kurasakan kenyamanan, ketika melihat senyumnya
Kurasakan kebahagiaan, waktu mendengar tawanya
Semoga ini bukanlah rasa sesaat yang datang dengan tiba-tiba
Semoga ini tidak untuk sementara, karena aku tak meminta
Sungguh diri ini tak rela
Bila kemudian rasa ini tiada
Ku memang tak tahu tentangnya
Yang kurasa hanyalah cinta

Luka pada Bidadariku

Gemuruh halilintar menyambar
Dahsyatnya badai menerjang
Tak lagi kurisaukan
Melihatnya menangis berlinang
Tak sanggup menahan sakitnya rasa
Melihatnya berurai air Mata
Tak mampu menahan amarah jiwa
Pada kasihnya yang tlah buat luka
Biar kubuatnya menyesal
Karna torehkan luka pada bidadariku
Biar kubuat perhitungan
Karna telah hancurkan jiwaku

Ikrarku Untuknya

Dengarkanlah ikrarku untuknya
Bahwa ku kan slalu ada
Dan kan kujaga senyumnya
Kan kubuat dirinya bahagia
Kuberharap ini tuk slamanya
Karna dialah semangat jiwa

Kerelaan Hati

Jujur saja aku tak rela
Melepasnya pergi dariku
Sungguh rasa ini tak kuasa
Relakan dia menjauhiku
Andai sama bisa kugapainya kembali
Tak akan kubiarkan dia pergi
Andai saja sanggup kurengkuhnya lagi
Kan slalu kujaga di sisi

Ikatan Dua Hati

Kicauan burung pagi
Semarakkan rasa hati
Bintang yang menjadi saksi
Akan ikatan dua hati
Hari ini ku begitu gembira
Kan kudapati selalu dirinya
Tiap kali kubutuhkannya
Begitu pula baginya

Sebuah Impian

Kurentangkan tangan untuk menggapaimu
Namun aku hanya menjangkau debu
Engkau lebih dari sejangkauanku
Engkau tak ada di sampingku
Dan aku pun tersadar, bahwa engkau adalah sebuah impian
Yang menyitaku dari kenyataan

10 Puisi singkat Tentang cinta terbaru tahun 2020